Rabu, 16 Desember 2009

Menjadi Orang Buta yang Bijak

Menyambung cerita "Orang Buta dan Seekor Gajah" namun dengan alur yang berbeda, yakni ketika dalam perjalanan pulangnya kelima orang buta saling berdiskusi, bertukar pandangan mengenai bentuk gajah dari meraba tubuh gajah. Di akhir diskusi, mereka sepakat untuk kembali ke perkemahan sirkus untuk kembali meraba gajah tersebut.

Tapi kali ini, mereka saling bertukar tempat untuk meraba seluruh bagian tubuh gajah. Kelima orang buta tersebut meraba bagian tubuh gajah yang pernah diraba oleh temannya. Dengan demikian kelima orang buta tsb telah meraba seluruh tubuh gajah.

Setelah mereka meraba seluruh bagian tubuh gajah tersebut, mereka berdiskusi kembali. Dari hasil diskusi, mereka berkesimpulan bahwa ada tanda-tanda, ada ciri-ciri khas dari seekor gajah. Mereka juga akhirnya berpendapat bahwa pemilik sirkus tidaklah berbohong mengenai ciri-ciri gajah yang memiliki tubuh yang lebih besar dan berat dari manusia.

Meski kelima orang buta itu tidak melihat, seperti apa bentuk gajah sesungguhnya, namun mereka memiliki pemikiran yang sama, yang didapat dari tanda-tanda, ciri-ciri yang mereka dapat baik dari meraba dan juga dari perkataan pemilik sirkus tersebut.

Kesimpulan, jadilah diri kita menjadi orang buta yang cerdik, yang bijaksana, yang melihat tanda-tanda, ciri-ciri, indikasi-indikasi dari kebenaran yang masih tersembunyi dari pandangan kita.

Dengan demikian, kita dapat menjauhkan diri kita dari hal-hal buruk yang menanti kita, yang juga akan menjauhkan kita dari kebenaran, yang masih tersembunyi tersebut.

Jika kita yang masih buta akan kebenaran yang tersembunyi ini, tidak memiliki kecerdikan, kebijaksanaan, kita akan menjadi orang-orang buta yang bodoh, yang dengan mudah dapat dipermainkan oleh orang lain.

Dan hanya dengan cahaya kebijaksanaan-lah maka kegelapan pada pada mata kita akan lenyap.

Orang Buta dan Seekor Gajah

Suatu ketika ada lima orang buta, yang tidak pernah melihat gajah seumur hidup mereka. Mereka pergi ke perkemahan sirkus dan mereka dipertemukan dengan seekor gajah oleh pemilik sirkus tersebut. Pemilik sirkus tersebut mengatakan kepada kelima orang buta itu bahwa gajah ini adalah hewan yang lebih besar dan berat dari manusia.

Dengan menggunakan tangan, kelima orang buta tersebut meraba gajah tersebut untuk mengetahui bentuk sebenarnya dari gajah itu.

Orang buta pertama meraba belalai gajah tersebut dan mengatakan,
”Oh, gajah itu seperti selang yang besar!”

Orang buta kedua meraba kaki gajah tersebut dan mengatakan,
”Oh, gajah itu seperti batang pohon besar!”

Orang buta ketiga meraba kuping gajah tersebut dan mengatakan,
”Oh, gajah itu seperti daun kipas yang besar!”

Orang buta keempat meraba tubuh si gajah yang berbulu kasar itu dan mengatakan,
”Oh, gajah itu seperti karung goni yang sangat besar sekali!”

Dan terakhir, orang buta kelima memegang buntut si gajah dan mengatakan,
”Oh, gajah itu seperti kabel besar yang ujungnya berambut!”

Dalam perjalanan pulang, kelima orang buta tersebut saling berdebat mengenai bentuk sesungguhnya dari seekor gajah. Masing-masing mempertahankan pendapatnya mengenai bentuk gajah yang mereka dapat dari meraba tubuh gajah tersebut, dan akhirnya mereka saling bertengkar satu sama yang lain.

Kisah perumpamaan di atas memiliki makna bahwa :
adalah hal yang sia-sia belaka kita memperdebatkan sesuatu, yang belum kita ketahui secara pasti.
Kita hanya akan menjadi orang-orang buta yang bodoh.

Minggu, 13 Desember 2009

Ular Ganas dan Ular Bijak

Suatu ketika di tengah hutan ada seekor ular king kobra yg besar. Ular tersebut ditakuti oleh semua makhluk, bahkan penghuni hutan tanpa terkecuali karena keganasannya. Semua makhluk yg mendekat ke sarangnya akan digigit hingga mati keracunan. Pada akhirnya, tidak ada manusia atau mahluk hutan apapun yang berani mendekati sarangnya.

Suatu hari, ular tersebut merasa capek dengan hidupnya yang penuh dengan kejahatan. Dia ingin bertobat di sisa hidupnya. Dia pun mendengar bahwa ada seekor ular bijak yang hidup di puncak gunung. Akhirnya dia memutuskan untuk belajar dari ular bijak itu.

Ular bijak itu mengajarkan bagaimana hidup dengan baik. Ular kobra itu mendengarkan semua petuah ular bijak itu dan dia sungguh-sungguh mengubah hidupnya. Ketika ular tersebut menjadi ular baik, jalanan di dekat rumahnya berubah menjadi ramai. Perlahan-lahan sudah dilewati banyak makhluk, termasuk manusia.

Suatu hari, sekelompok anak mulai mengganggunya. Mereka mengatai ular tersebut, tetapi ular tersebut menahan diri untuk tidak marah. Dia tetap bermeditasi dengan tenang. Anak-anak itu melihat ular tersebut bersikap pasif, mereka mulai mengambil ranting dan mempermainkan ular itu. Ular itu tetap menahan marahnya. Sampai akhirnya ular tersebut dipukuli habis-habisan oleh anak-anak tersebut.

Dengan tubuh babak belur ular itu menemui ular bijak itu. Ular kobra itu protes dan marah-marah karena ternyata ajaran ular bijak itu membuat tubuhnya babak belur. Ular bijak itu hanya menjawab "ular bodoh, aku melarangmu utk menggigit, bukan mendesis".

Jumat, 13 November 2009

Penjual Kain dan Pembeli (3 x 8 = 23)

Yan Hui adalah murid kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak, "3x8 = 23, kenapa kamu bilang 24?" Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata, "Sobat, 3x8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi". Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata, "Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan."

Yan Hui: "Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?"
Pembeli kain: "Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?"
Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu."

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius. Setelah Confusius tahu duduk persoalannya, Confusius berkata kepada Yan Hui sambil tertawa, "3x8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia."

Untuk sesaat, Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas. Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya.

Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat, "Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh." Yan Hui bilang "baiklah", lalu berangkat pulang.

Di dalam perjalanan tiba-tiba angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi teringat nasihat Confusius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti.

"Apakah saya akan membunuh orang?" Yan Hui tiba dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, "jangan membunuh". Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata:,"Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?" Confusius berkata, "Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung di bawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh".

Yan Hui : "Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum."
Confusius : "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3x8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa.

Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?"
Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata , "Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar-benar malu." Sejak itu, kemanapun Confusius pergi, Yan Hui selalu mengikutinya.

Cerita ini mengingatkan kita, jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya. Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting. Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara-gara bertaruh mati-matian untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat. Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan.

Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang. Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat kita kasih sample barang lagi, kita akan mengerti)

Bersikeras melawan boss. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat penilaian bonus akhir tahun, kita akan mengerti)

Bersikeras melawan istri. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Istri tidak mau menghirau kamu, semua harus "do it yourself")

Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Bisa-bisa kita kehilangan seorang teman)

Senin, 26 Oktober 2009

Istri Socrates

Istri Socrates dikenal berperangai buruk, selalu mencari-cari kesalahan dalam diri suaminya, dan hamper setiap hari mencelanya. Suatu hari, ketika sang istri telah menyelesaikan semua omelannya, Socrates memuji istrinya dengan mengatakan bahwa dibandingkan hari-hari sebelumnya, kata-katanya pada hari itu lebih baik dan gayanya juga lebih menarik.

Jumat, 23 Oktober 2009

Majikan Kaya dan Pembantu Setia

Seorang janda kaya aristokrat, yang terkenal murah hati di tengah masyarakat, memiliki seorang pembantu rumah tangga yang rajin dan setia. Satu hari, didorong oleh rasa ingin tahu, pembantu ini memberanikan diri menguji majikannya. Ia ingin tahu apakah majikannya sungguh-sungguh baik hati atau sekedar berpura-pura di tengah kerumunan kaum kelas atas.

Keesokan harinya, ia bangun siang hari. Sang majikan menegurnya karena terlambat. Hari berikutnya, pembantu itu bangun terlambat lagi. Kali ini, majikannya memarahai dan memukulnya dengan tongkat. Kabar ini segera berhembus dari satu tetangga ke tetangga lainnya. Janda kaya ini tidak hanya kehilangan nama baiknya, namun juga pembantu setianya.

Kamis, 22 Oktober 2009

Raja dan Pencuri

Pada zaman dahulu kala, seorang raja ingin menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki yang menurut Raja pantas. Raja lalu mengadakan sayembara bagi para laki-laki yang mampu mencuri sesuatu dari dalam istananya yang dijaga ketat, dengan syarat tanpa ketahuan oleh siapapun. Pemenangnya berhak untuk menikahi putrinya.

Dalam kurun waktu yang ditentukan, banyak pemuda mengikuti sayembara ini dan menunjukkan kebolehannya. Mereka mengerahkan berbagai kepiawaian dan kesaktian untuk menerobos penjagaan ketat di istana.

Pada hari penentuan, para peserta dikumpulkan. Pemuda pertama dipanggil menghadap raja dan ditanya hasilnya. Ia menjawab, "Saya mencuri batu rubi ini dan tak seorangpun di istana yang mengetahuinya. Raja menjawab, "Bukan kamu pemenangnya!"

Pemuda kedua maju, "Semalam saya mengambil kereta kencana dan membawanya keluar gerbang, para penjaga saya buat terlelap semua, tak ada yang melihat saya." Raja mempersilahkan peserta duduk kembali.

Dengan mantap, peserta berikutnya menghadap, "Ampun Paduka, sayalah yang mengambil mahkota Paduka dari kamar Paduka, dan seluruh barisan pertahanan istana tak ada yang menyadarinya." Raja menggeleng.

Semua orang jadi bingung, karena masih saja belum ada yang dinyatakan sebagai pemenang. Akhirnya, seorang pemuda menghadap dengan tangan kosong dan berkata, "Saya tidak mendapatkan apapun." Raja bertanya, "Mengapa begitu?" Pemuda tersebut menjawab, "Sungguh tidak mungkin kita bisa mencuri tanpa ketahuan oleh siapapun, karena setidaknya selalu ada satu orang yang mengetahuinya, yaitu diri kita sendiri." Raja pun tertawa lebar dan menyambut sang menantu barunya.

Betapa damai dan membahagiakannya dunia kita ini, jika setiap orang mengindahkan suara hatinya. Pada dasarnya, nurani setiap orang adalah bersih adanya. Di dalam hati kita, setidaknya selalu ada rasa "MALU" untuk berbuat buruk dan rasa "TAKUT" akan akibat berbuat buruk. Suara hati yang bersih adalah penjaga dunia sejati. Persoalannya, apakah kita memelihara dan mengindahkan suara hati kita atau tidak?

Oleh diri kita sendiri ada rasa "MALU" dan "TAKUT".
Oleh diri kita sendiri juga tidak ada rasa "MALU" dan "TAKUT".
Oleh diri kita sendiri dunia damai
Oleh diri kita sendiri dunia kacau

Kumbang Sombong dalam Kotoran Sapi

Ada seekor kumbang yang menemukan seonggok kotoran sapi. Ia bersenang-senang di dalamnya dan merasa enak di sana. Kemudian, ia mengundang teman-temannya untuk bergabung membangun kota di dalamnya. Setelah bekerja keras tanpa mengenal lelah selama beberpa hari, mereka berhasil membangun sebuah “kota hebat” di dalam onggokan itu.

Mereka sangat bangga atas keberhasilan itu dan memutuskan untuk mengangkat kumbang pertama sebagai raja. Untuk menghormati raja baru, mereka menyelenggarakan suatu parade megah berkeliling “kota”.

Pada waktu parade megah ini sedang berlangsung, seekor gajah lewat dan ketika melihat seonggok kotoran sapi, gajah itu mengangkat kakinya agar tidak menginjak kotoran itu. Raja kumbang itu melihat kejadian itu dan dengan marah ia membentak binatang besar itu. “Hai kamu! Tak ada rasa hormat kepada raja? Sungguh kurang ajar kamu melangkahkan kaki di atas kepala raja. Minta ampun sekarang juga atau kuhukum kau.” Gajah itu menengok ke bawah dan berkata, “Baginda Yang Mulia, hamba mohon ampun.” Lalu ia berlutut di atas onggokan kotoran itu… meratakan raja, kota, penduduk, dan keangkuhan dalam satu tindakan kerendahan hati.